Bekicot Dan Keong Dalam Perspektif Fikih: Kajian Lengkap Dan Dalil

1 hari yang lalu
88
5 menit baca
Bekicot Dan Keong Dalam Perspektif Fikih: Kajian Lengkap Dan Dalil

🔖 Pendahuluan

Pertanyaan mengenai hukum mengonsumsi bekicot atau hewan keong (ḥalazūn) cukup sering muncul di masyarakat. Sebagian orang memanfaatkannya sebagai makanan atau pengobatan tradisional, sementara sebagian lainnya ragu terhadap status hukumnya. Para ulama terdahulu telah membahas masalah ini dengan memerinci jenis hewan tersebut, menimbang dalil-dalil syariat, dan mempertimbangkan kebiasaan (‘urf) manusia.


Klasifikasi: Bekicot Darat dan Keong Laut

Dalam literatur fikih, istilah ḥalazūn mencakup dua jenis hewan:

  1. Bekicot Darat: Termasuk kelompok hasyarāt (serangga atau hewan kecil darat) yang tidak memiliki darah mengalir. Umumnya hidup di kebun atau area lembap.
  2. Keong Laut (Bekicot Laut): Termasuk marine mollusks dan serumpun dengan kerang serta kima. Hidup seluruhnya di air, baik laut maupun air tawar.

Perbedaan habitat ini sangat penting karena memengaruhi hukum fikihnya.


1. Hukum Bekicot Darat Menurut Para Ulama

Mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Syafi‘i, Hanbali, dan Zhahiri menilai bekicot darat tidak halal dikonsumsi. Beberapa alasan fikihnya adalah sebagai berikut:

a. Termasuk kategori khabā’its (hewan yang dianggap kotor)

Allah Ta’ala berfirman:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الخَبَائِثَ

“...dan Dia menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raf: 157).

Dalam kitab Kasysyāf al-Qinā‘ dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan khabā’its adalah segala sesuatu yang dianggap kotor atau menjijikkan menurut kebiasaan umum manusia. Para ulama menilai bekicot darat termasuk hewan yang tidak lazim dikonsumsi dan dianggap menjijikkan oleh tabiat manusia.

b. Termasuk jenis hasyarāt (hewan kecil yang hidup di darat) yang tidak halal dimakan

Imam An-Nawawi dalam Al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadzdzab (9/13, 16) berkata:

وَلَا يَحِلُّ أَكْلُ حَشَرَاتِ الْأَرْضِ كَالْحَيَاتِ وَالْعَقَارِبِ وَالْفَارِ وَالْخَنَافِسِ وَالْعَظَاءِ وَالصَّرَاصِرِ وَالْعَنَاكِبِ وَالْوَزَغِ وَسَامٌ أَبْرَصَ وَالْجُعْلَانِ وَالدِّيْدَانِ، وَبَنَاتِ وَرْدَانٍ وَحِمَارِ قُبَانٍ لِقَولِهِ عَزَّ وَجَلَّ: (وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ)

“Tidak halal memakan binatang kecil di bumi seperti ular, kalajengking, tikus, kumbang, binatang lembut, kecoa, laba-laba, tokek, cacing, orong-orong, karena firman-Nya: ‘dan (Allah) mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.’”

Bekicot darat masuk kategori ini.

c. Tidak memenuhi syarat penyembelihan

Dalam Al-Muḥallā (6/76–77), Ibn Hazm menegaskan bahwa seluruh serangga darat tidak boleh dimakan karena tidak mungkin disembelih secara syar‘i. Beliau menulis:

فَمَا لَمْ يُقْدَرْ فِيهِ عَلَى الذَّكَاةِ فَلَا سَبِيلَ إِلَى أَكْلِهِ

“Hewan yang tidak mungkin disembelih, tidak ada jalan untuk menghalalkan memakannya.”

Karena bekicot darat tidak memiliki tempat sembelih seperti tenggorokan, maka tidak dapat disembelih.

d. Tidak lazim dikonsumsi menurut ‘urf masyarakat Hijaz

Dalam mazhab Hanafiyah, makanan yang dianggap menjijikkan dan tidak biasa dikonsumsi oleh masyarakat pada masa turunnya Al-Qur’an biasanya dihukumi haram. Bekicot darat tidak dikenal sebagai makanan masyarakat Hijaz.


Pendapat Ulama yang Membolehkan

Meski mayoritas mengharamkan, sebagian ulama khususnya dari Mazhab Maliki membolehkan bekicot darat, asalkan ditangkap hidup-hidup dan kemudian dimasak.

Dalam Al-Mudawwanah (1/542), Imam Malik ditanya tentang hewan bernama al-ḥalazūn yang hidup di padang pasir dan menempel pada pohon:

سُئِلَ مَالِكٌ عَنْ شَيْءٍ يَكُوْنُ فِي الْمَغْرِبِ يُقَالُ لَهُ الْحَلَزُوْنُ يَكُوْنُ فِي الصَّحَارَى يَتَعَلَّقُ بِالشَّجَرِ أَيُؤْكَلُ؟ قَالَ : أَرَاهُ مِثْلَ الْجَرَادِ، مَا أُخِذَ مِنْهُ حَيّاً فَسُلِقَ أَوْ شُوِيَ فَلَا أَرَى بِأَكْلِهِ بَأْساً، وَمَا وُجِدَ مِنْهُ مَيْتًا فَلَا يُؤْكَلُ

“Imam Malik ditanya tentang hewan yang ada di Maghrib yang dinamakan halazun, yang hidup di darat, menempel di pohon; apakah ia boleh dimakan? Beliau menjawab: Saya berpendapat itu seperti belalang. Jika diambil darinya dalam keadaan hidup lalu dididihkan atau dipanggang, maka saya berpendapat tidak apa-apa untuk dimakan. Namun jika diperoleh dalam keadaan mati maka tidak dimakan.”

Pendapat ini dijadikan rukhshah (keringanan) bagi masyarakat yang terbiasa mengonsumsi bekicot darat.

Kesimpulan Hukum Bekicot Darat:

  • Mayoritas ulama: Haram, karena termasuk hasyarāt (serangga), tidak bisa disembelih, serta dianggap menjijikkan.
  • Sebagian ulama (Imam Malik): Halal, jika diambil dalam keadaan hidup lalu dimasak.

Perbedaan ini menunjukkan fleksibilitas dalam ijtihad fikih, sehingga umat Islam dapat mengikuti pendapat yang lebih diyakini.


🐚 2. Hukum Keong Laut: Disepakati Halal

Berbeda dengan bekicot darat, keong laut dihukumi halal oleh seluruh ulama, sebagaimana hewan laut lainnya. Dalilnya adalah firman Allah:

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ

“Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan yang berasal darinya.” (QS. Al-Ma’idah: 96).

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah no. 3314).

Para ulama menjelaskan bahwa semua hewan yang hidup di air, baik laut maupun air tawar, termasuk dalam keumuman ayat tersebut.


💡 Kesimpulan Akhir

Pembahasan mengenai hukum bekicot dan keong menunjukkan bahwa syariat Islam adalah ajaran yang dibangun di atas ilmu, kejelasan dalil, serta penghargaan terhadap perbedaan pendapat. Para ulama telah menjelaskan masalah ini dengan argumentasi yang kuat dan metodologi yang matang. Dari kajian mereka, dapat disimpulkan bahwa:

  • Bekicot darat dinilai tidak halal oleh mayoritas ulama karena termasuk hewan yang menjijikkan, tidak memenuhi standar penyembelihan syar‘i, dan tidak lazim dikonsumsi menurut ‘urf.
  • Keong laut disepakati halal sebagaimana hewan-hewan laut lainnya berdasarkan keumuman nash Al-Qur’an dan hadis.

Perbedaan pendapat yang muncul bukanlah alasan untuk saling memvonis atau merendahkan pandangan lain. Sebaliknya, ia mengajarkan bahwa Islam memberi ruang ijtihad dan fleksibilitas selama berpegang pada dalil. Setiap muslim diperbolehkan mengikuti pendapat ulama yang lebih diyakini kebenarannya.

Akhirnya, prinsip utama yang harus dipegang adalah firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ

“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 172).

Kita memilih makanan yang halal lagi thayyib adalah bagian dari menjaga kesehatan, keberkahan, serta mensyukuri nikmat yang telah diberikan-Nya. Sikap hati-hati, penuh pertimbangan, dan saling menghormati adalah cermin kedewasaan dalam beragama.

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk memahami agama-Nya dengan benar dan mengamalkannya dengan penuh keikhlasan. Aamiin.
Wallahu a’lam bish-shawab.


📚 Daftar Referensi

  • Al-Qur’an al-Karim (QS. Al-A‘raf: 157, QS. Al-Ma’idah: 96, QS. Al-Baqarah: 172).
  • Al-Buhuti, Manshur. Kasysyāf al-Qinā‘ ‘an Matn al-Iqnā‘. Jilid 2, hlm. 177.
  • An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. Al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadzdzab. Maktabah Syamilah, Juz 9, hlm. 13 dan 16.
  • Ibn Hazm, Ali bin Ahmad. Al-Muḥallā bil Ātsār. Juz 6, hlm. 76–77.
  • Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid. Sunan Ibni Mājah. Hadis no. 3314 (bab halalnya dua bangkai dan dua darah).
  • Imam Malik bin Anas. Al-Mudawwanah al-Kubrā. Juz 1, hlm. 542.

✍️ Penulis:

Muhammad Hanaan, B.A.
(Alumni LIPIA Jakarta. Pengajar Pondok Pesantren Al Madinah Boyolali)

Download PDF